Selasa, 08 Januari 2013

FIQIH 1


fiqih 
MANDI

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai orang muslim kita wajib melaksanakan apa yang di ajarkan oleh islam yaitu tata-cara kehidupan sehari-hari.
Islam dalah agama yang bersih yang menghendaki setiap pengikutnya memiliki jasmani dan rohani yang bersih untuk melaksanakan ibadah kepada Allah swt. Dan apabila orang muslim berhadats besar, maka ia wajib mandi, slain tuntutan dari Allah, mandi juga berguna bagi kesehatan kita.
Nah, di dalam makalah kami ini, akan di bahas tentang mandi dan seluk-beluknya. Marilah kita pelajari.


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian
Mandi berasal dari bahasa arab yaitu Al-Ghusl yang dalam bahasa Indonesia berarti membasuh badan. Pengertian mandi menurut syara’ ialah meratakan air pada seluruh badan dari ujung rambut sampai ujung jari-jari kaki disertai dengan niat sesuai dengan keperluannya, baik untuk menghilangkan hadats besar atau sebagai mandi sunnah.
Pengertian mandi menurut bahasa ialah mengalirnya air atas sesuatu secara mutlak.

2.        Macam-macam mandi
Mandi terbagi menjadi 2, yaitu mandi sunah dan mandi wajib. Adapun sesuatu yang mewajibkan mandi itu ada 6 perkara, 3 diantaranya bersamaan ada pada beberapa orang laki-laki dan perempuan[1]
a.       Hubungan kelamin baik keluar mania tau tidak
b.      Keluar mani baik dalam keadaan sadar atau karena mimpi.
c.       Meninggal, jika ada orang islam meninggal, maka orang islam yang masih hidup wajib memandikannya.
d.      Haidl/menstruasi. Seorang wanita yang telah selesai haidl atau menstruasi maka ia wajib mandi.
e.       Nifas, yaitu darah yang keluar dari rahim wanita setelah melahirkan bayi.
f.       Wiladah/malahirkan, yaitu seorang ibu setelah melahirkan wajib mandi.[2]
Adapun mandi yang di sunahkan itu ada 17 macam, yaitu:
a.       Mandi jum’ah
b.      Mandi hari raya idul fitri
c.       Mandi hari raya idul adha
d.      Mandi karena hendak mengerjakan sholat istisqa(minta hujan)
e.       Mandi karena adanya gerhana bulan
f.       Mandi karena gerhana matahari
g.      Mandi karena habis memandikan mayit/jenazah
h.      Mandi karena masuk islam
i.        Mandi karena sembuh dari gila
j.        Mandi karena sembuh dari ayan
k.      Mandi karena akan mengerjakan ihrom, baik ihrom haji ataupun ihrom umroh
l.        Mandi karena hendak memasuki kota makkah
m.    Mandi karena hendak wukuf di padang arofah
n.      Mandi karena bermalam di musdalifah
o.      Mandi karena hendak melempar jumroh
p.      Mandi karena hendak thowaf
q.      Mandi lain-lain seperti mandi pada tiap malam di bulan romadlon.[3]

3.      Syarat-syarat mandi
1)      Islam.
2)      Tamyis, orang mumayyiz ialah orang yang sudah dapat membedakan segala perbuatan manusia yang baik dan yang buruk.
3)      Dengan menggunakan air yang mutlaq (air yang suci dan mensucikan).
4)      Tidak ada yang menghalangi sampainya air pada anggota badan seperti: cat, getah, dan lain-lain.
5)      Tidak dalam keadaan haidl atau nifas.

4.      Rukun mandi
1)      Niat, maksudnya ialah sengaja menghilangkan hadats besar/ mandi sunah yang lain. Niat tersebut harus dibaca bersamaan dengan permulaan fardhu, yaitu permulaan sesuatu yang dibasuh dari arah bagian atas badan/ bagian arah bawahnya. Seandainya orang itu niat sesudah membasuh sebagian(anggota badan) maka wajib mengulang pembasuhan sebagian anggota badan tersebut.
2)      Menghilangkan najis yang ada pada badan.
3)      Meratakan air keseluruh badan, mulai dari dari rambut sampai jari-jari kaki. Dan tidak ada perbedaan antara rambut kepala dan rambut lainnya, demikian juga antara rambut yang jarang dan rambut yang tebal.

5.      Sunnah-sunnah mandi
1)      Membaca basmalah ketika memulai mandi.
2)      Berwudlu sebelum memulai mandi.
3)      Meratakan pembasuhan keseluruh bagian tubuh dan sebaiknya dilakukan dengan menggosok-gosokkan badan.
4)      Menyegerakan mandi, maksudnya begitu selesai haidl atau nifas seseorang di sunahkan langsung mandi.
5)      Mendahulukan anggota badan yang kanan daripada yang kiri.
6)      Menyela-nyela jari-jari kedua tangan dan jari-jari kaki.
7)      Beriring, yaitu antara membasuh anggota badn yang satu dengan yang lain tidak berselang dalam waktu yang lama.[4]

6.      Tata-cara mandi wajib.
Rasulullah SAW memberikan cara mandi wajib dengan urutan sebagai berikut:
a.       Membaca basmalah bersamaan dengan niat.
b.      Membersihkan telapak tangan sebelum memasukkannya kedalam tempat air.
c.       Menghilangkan kotoran yang ada pada badan, yang menghalangi sampainya air ke kulit.
d.      Apabila ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke kulit, kotoran yang ada wajib di hilangkan terlebih dahulu.
e.       Membersihkan kemaluan/ beristinja’. Ketika beristinja’ gunakan tangan kiri.
f.       Berwudlu lah dengan sempurna sebelum mandi, termasuk termasuk berkumur dan memasukan air ke hidung.
g.      Apabila telah berwudlu sebelum mandi kemudian berhadats, kita tidak usah mengulangi wudlu, hal tersebut dikarenakan kita telah melakukan sunahnya mandi. Namun demikian, ada sebagian ulama syafi’iyah yamg berpendapat bahwa jika wudlu seorang telah batal sebelum mandi, ia dituntut untuk mengulangi wudlu nya.
h.      Mencelupkan kedua tangan kedalam air dan menyiramkan air ke akar-akar rambut kepala.
i.        Menyiram/mengguyurkan air ke kepala untuk yang pertama sebanyak 3 kali.
j.        Mendahulukan anggota badan sebelah kanan.
k.      Mengguyurkan air ke seluruh 8
l.        Tidak meminta tolong orang lain kecuali ada udzur/ halangan.
m.    Mandi dilakukan di tempat yang sekiranya tidak terkena percikan air mandi.
n.      Tidak berbicara kecuali ada keperluan penting ketika sedang mandi.


BAB III
PERMASALAHAN
1.      Apakah orang yang melakukan jima’ (bersetubuh) itu wajib mandi, bila tidak inzal (keluar mani)?
2.      Apa yang harus dilakukan oleh wanita yang mengalami istihadhah manakala dihukumi suci?
3.      Apa yang harus dilakukan wanita haidl saat ketuntasan haidlnya?
4.      Apakah wanita yang sedang haidl boleh melaksanakan haji?
5.      Bagaimana hukumnya bertayamum bagi orang yang junub atau berpergian atau sakit ketika tidak mendapatkan air?
6.      Bagaimana hukumnya  bagi wanita yang berada dalam keadaan suci dari haidl setelah terbit fajar, apakah ia wajib puasa atau ia wajib mengqadha(mengganti) puasa hari tersebut?
7.      Apakah wanita muslimah wajib mengqadha shala apabila ia kedatangan haidl setelah masuk waktu shalat?
8.      Apakah wanita muslimah di perbolehkan manggunakan pil pencegah haidl guna sempurnanya puasa di bulan ramadlan ?
9.      Apa yang harus di lakukan bagi wanita muslimah ketika mengeluarkan darah haidl secara bertahap(sehari keluar darah, sehari bersih) apakah ia harus bersuci atau tidak?


BAB IV
URAIAN

1.    Mengenai hal ini, para ulama berbeda pendapat. Para ulama yang menyatakan bahwa bersetubuh yang tidak inzal itu tidak di wajibkan mandi. Hal ini berdasarkan dengan adanya hadits yang meriwatkan, bahwa pada suatu hari Zaid bin Khalid bertanya kepada Utsman bin Affan, ”bagaimanakah pendapat tuan, apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan istrinya, tapi tidak bermani?” maka berkata utsman bin affan,”ia harus berwudlu sebagaimana ia berwudlu untuk shalat, dan ia harus mencuci kemaluannya,” lalu utsman berkata,” saya mendengar itu dari Rasulullah Saw.”(HR. Bukhari dan muslim)
Adapun para ulama mengatakan bahwa bersetubuh yang tidak keluar mani itu tetap wajib mandi, hal ini di dasarkan dengan dalil pula, yaitu: dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata,” sesungguhnya fatwa yang mereka katakan, tidak wajib mandi lantaran tidak keluar mani adalah suatu kelonggaran yang telah di berikan oleh Rasulullah saw pada masa permulaan islam, kemudian sesudah itu dia menyuruh mandi(walaupun tanpa keluar mani)[5]
2.    a) ia wajib mandi pada akhir masa haid yang diperkirakannya.
b) ia harus membasuh farji (vagina) nya untuk menghilangkan cairan yang keluar. Hal itu harus dilakukan setiap menjelang akan sholat. Hendaknya ia meletakan kapas atau semacamnya di vagina itu untuk menahan cairan yang keluar dan membalutkan pembalut yang dapat menahannya agar tidak lepas. Kemudian berwudlu pada saat masuk waktu shalat(dapat juga menggunakan bahan-bahan pembalut khusus yang ada pada zaman sekarang).
3.    Wanita haid, seusai tuntasnya haid, ia wajib mandi, yaitu dengan menggunakan air dengan niat bersuci untuk seluruh tubuhnya.
4.    Berdasarkan sabda Rasulullah saw, kepada Aisyah saat ia haid bahwa boleh melaksanakan haji, tetapi haram baginya melakukan thawaf keliling ka’bah yakni,”lakukan semua apa yang orang yang sedang melakukan haji-nya, hanya saja jangan thawaf sekeliling ka’bah(HR. Bukhari dan Muslim)[6]
5.    Bagi orang yang berada dalam keadaan junub atau bepergian atau sakit, kemudian tidak mendapatkan air, maka bertayamum itu diperbolehkan.
6.    Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat, menurut iman ahmad, bahwa wanita yang berada dalam keadaan suci setelah terbitnya fajar, itu wajib berpuasa, akan tetapi tidak dihitung sebagai hari puasa baginya. Dan ia wajib mengqadha puasa tersebut. Adapun menurut para ulama yang lain mengatakan bahwa wanita yang berada dalam keadaan suci setelah terbitnya fajar, itu tidak wajib berpuasa, karena pada permulaannya ia dalam keadaan haid, kemudian pada hari sesudahnya(sesudah puasa romadlon), maka ia wajib mengqadhanya.[7]
7.    Bagi wanita muslimah yang kedatangan haid setelah masuk shalat, maka ia wajib mengqadhanya setelah ia suci. Hal itu di kerjakan apabila ia belum mengerjakan shalat. Adpun apabila ia telah mengerjakan shalat walaupun telah mendapati satu rakaat, kemudian kedatangan haid, maka baginya tidak wajib mengqadha.
8.    Menggunakan pil pencegah haid bagi wanita muslimah pada bulan romadlon agar dapat mengerjakan ibadah puasa secara sempurna(satu bulan) hal itu diperbolehkanm akan tetapi apabila menggunakan pil tersebut dapat mengakibatkan kemadharatan bagi pemakainya, maka hal itu harus di tinggalkan.
9.    Apabila wanita muslimah mengeluarkan darah haid secara bertahap-tahap, dan belum mencapai sampai 15 hari, maka darah tersebut tetap dinamakan darah haid dan tidak wajib untuk bersuci. Ini merupakan imam ahmad dan para ulama yang masyhur. Mereka mengatakan,”wanita yang mendapati sehari darah dan sehari bersih, maka darahnya adalah darah haid dan bersihnya adalah thur (suci dari haid), sehingga mencapai 15 hari, maka darah sesudahnya adalah darah istihadhah.
BAB V
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Mandi berasal dari bahasa arab yaitu Al-Ghusl yang dalam bahasa Indonesia berarti membasuh badan.
2.      Mandi terbagi menjadi 2, yaitu mandi sunah dan mandi wajib. Adapun sesuatu yang mewajibkan mandi itu ada 6 perkara, 3 diantaranya bersamaan ada pada beberapa orang laki-laki dan perempuan.
3.      Rukun mandi ada 3, yaitu: niat, menghilangkan najis yang ada pada badan, dan meratakan air keseluruh anggota badan.

B.  Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, dan di dalamnya masih sangat banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun akan sangat kami terima demi lebih baiknya makalah ini.


[1] . Drs. H. Imron Abu Umar, Fathul Qarib, kudus: menara kudus, 1982, hlm.29
[2] . Drs. H. Amir Abyan, M.A dan Zainal Muttaqin, M.A, fiqih, semarang.2004.hlm 41
[3] . Drs. H. Imron Abu Umar, Fathul Qarib, kudus: menara kudus, 1982, hlm.38
[4] . Drs. H. Amir Abyan, M.A dan Zainal Muttaqin, M.A, fiqih, semarang.2004.hlm 40
[5] . Labib MZ, wanita bertanya islam menjawab, surabaya: terbit terang ,2001. Hlm. 7
[6] . Rahmat al-Arifin Muhammad, sentuhan kefikihan untuk wanita beriman, malang:2001.hlm 38
[7] . Labib MZ, wanita bertanya islam menjawab, surabaya: terbit terang ,2001. Hlm11

ILMU TAUHID, Mu'tazilah


 ILMU TAUHID

MU'TAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Harun Nasution, persoalan yang pertama kali timbul dalam islam adalah persoalan dalam bidang politik bukannya persoalan dalam bidang teologi. Tapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi sehingga muncul berbagai aliran teologi. Jadi, menurut Harun Nasution penyebab timbulnya berbagai macam aliran teologi dalam islam adalah politik. Namun apabila dikaji lebih seksama, munculnya aliran-aliran teologi dalam islam tidak mesti disebabkan oleh adanya faktor politik. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri sangat memungkinkan untuk memunculkan perbedaan pendapat ketika ditafsirkan oleh orang yang memiliki latarbelakang sosial dan budaya yang berbeda yang pada akhirnya dapat melahirkan berbagai aliran teologi. Dengan kata lain, tidak semua aliran kalam di timbulkan oleh persoalan politis, namun ada beberapa aliran kalam yang memang berawal dari persoalan teologis.
Oleh karena itu, Dalam tulisan ini akan sedikit diuraikan lahirnya salah satu aliran kalam yaitu “Mu’tazilah”.














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Mu'tazilah
a.       Secara Etimologi
Mu'tazilah atau I'tizala adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan,
b.      Secara Terminologi Para Ulama
Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.

Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.

B.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para Ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.
Tentang awal munculnya sekte ini banyak diperselisihkan oleh para Ulama, namun sebutan mu`tazilah itu lebih banyak ditujukan kepada dua tokoh kontroversial yang bernama Washil Ibn Atha` dan Amr Bin Ubaid. Keduanya adalah murid dari seorang Sayyidut tabi`in di wilayah Basrah yang bernama Abu Hasan Al-Basri, kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidak setujuan dari Washil Ibn Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkah jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Ibn Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak dineraka dan tidak pula di surga.namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur, Antara surga dan neraka (al-manzilah bain al-manzilatain).
Ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan mereka, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
Peristiwa yang paling menggemparkan dalam sejarah perjalanan Mu`tazilah ini adalah peristiwa Al-Quran ialah makhluk. Sebuah peristiwa yang telah menelan ribuan korban dan kaum muslimin, yaitu mereka yang tidak setuju pada pendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk. Mereka tetap bersikukuh pada pendapat mereka, bahwa Al-Quran adalah kalamullah sebagaimana yang dipahami oleh para salaf, termasuk ulama yang mendapatkan ujian berat dari peristiwa Al-Quran makhluk ini adalah Imam Syafi`ie dan Imam Ahmad.

C.    Ajaran Mu’tazilah
Ajaran dasar yang dibawa oleh mu’tazilah adalah al-Ushul al-Khamsah, atau lima ajaran dasar. Al-Ushul al-Khamsah diberi urutan menurut pentingnya tiap-tiap dasar, yaitu sebagai berikut :

a.      Al-Tauhid
Menurut Mu’tazilah, tauhid berarti mengakui keesaan Tuhan (sebagai lawan dari segala bentuk dualisme) menolak semua perumpamaan antara Allah dan makhluk-Nya (sebagai lawan dari antropomorfisme) dan tidak mengakui adanya sifat-sifat kekal yang melekat pada Tuhan.
Untuk menjaga keesaan Tuhan menurut pandangan Mu’tazilah tersebut muncul pandangan-pandangan sebagai berikut :
1.      Peniadaan sifat Tuhan (Nafyu al-Shifah)
2.      Menolak antropomorfisme
3.      Menolak Tuhan dapat dilihat
4.      Menolak Qadimnya Al-Quran
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran tidak bersifat Qodim, tetapi baharu. Dengan demikian tidak bisa dikatakan Qodim, karena Qodim itu tidak didahului dengan yang lain. Disamping itu, menurut kaum Mu’tazilah, kepercayaan kepada keabadian Al-Quran bertentangan dengan konsepsi keesaan Tuhan.

b.      Al-Adl
Qadli Abdul Jabbar menjelaskan bahwa yang dimaksud adil bagi Tuhan, yaitu segala perbuatan Tuhan pasti bagus, tidak mungkin Tuhan berbuat buruk dan tidak bisa mengingkari yang wajib bagi-Nya.
Bagi Mu’tazilah Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Dalam hal ini, Abu al-Huzail berpendapat bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa untuk berbuat dlalim tetapi mustahil Tuhan berbuat dlalim, karena akan membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan.
Dari dasar Al-Adl timbullah persoalan-persoalan yang merupakan konsekuensi logis dari sifat adilnya Tuhan, yaitu sebagai berikut :
1.      Perbuatan manusia
2.      Al-Shalah wa al-Ashlah
3.      Pengiriman Rasul


c.       Al-Wa’d wa al-Wa’id
Al-Wa’d adalah janji Allah untuk memberi pahala kepada orang-orang yang taat. Sedang al-wa’id adalah ancaman, yaitu ancaman Allah untuk menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat. Al-Wa’d wa Al-Wa’id ini ada kaitanya dengan Al-Adl, dalam arti bahwa Tuhan tidak akan adil kalau tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Dan tidaklah adil jika Tuhan tidak menepati janji-Nya.

d.      Al-Manzilah bain al-manzilatain
Al manzilah bain al manzilatain yaitu teori ‘’posisi tengah’’ yang dirumuskan oleh Washil bin Atho’ mengenai seorang muslim yang melakukan dosa besar. Bagi Mu’tazilah, iman tidak hanya patuh atau setia pada dogma islam, tapi termasuk ‘amal perbuatan’. Oleh karena itu seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak dapat disebut mukmin, juga tidak disebut kafir karena sebutan kafir hanya layak untuk orang yang mempercayai ajaran yang bertentangan dengan ajaran islam.
Menurut Qadhi Abdul Jabbar, orang muslim yang melakukan dosa besar tidak bisa disebut mukmin, juga tidak bisa disebut kafir dan bukan pula munafik, karena munafik adalah sebutan yang cocok untuk orang yang menyembunyikan kekufuran dibalik penampilannya yang kelihatan islam. Sebutan yang cocok untuk orang muslim yang melakukan dosa besar adalah fasiq.
Karena bukan mukmin dia tidak dapat masuk surga dan karena bukan kafir, ia sebenarnya tidak mesti masuk neraka. Orang fasiq seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tapi karena di akhirat hanya ada surga dan neraka, maka pelaku dosa besar di tempatkan di neraka tapi dengan siksaan yang lebih ringan dari siksaan yang diberikan kepada orang kafir.


e.       Al-Amr bi Al-ma’ruf wa al-Nahyu an al-Munkar
Al-Amr bi Al-ma’ruf wa al-Nahyu an al-Munkar adalah perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Meskipun Al-Amr bi Al-ma’ruf wa al-Nahyu an al-Munkar itu wajib, namun tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Qadli Abdul Jabbar mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melaksanakannya. Apabila tidak dipenuhi persyaratan itu, maka ia gugur dari kewajiban melaksanakannya. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui perbuatan yang diperintahkan itu benar-benar ma’ruf dan yang dilarang benar-benar munkar.
2.      Mengetahui perbuatan yang munkar telah dilakukan dan nyata.
3.      Mengetahui bahwa pelaksanaannya tidak mengakibatkan madlorot yang lebih besar.
4.      Mengetahui atau mempunyai dugaan kuat bahwa pelaksanaannya akan membawa pengaruh dan berhasil.
5.      Mengetahui atau mempunyai dugaan kuat bahwa pelaksanaannya tidak akan mengakibatkan kerusakan harta dan jiwa.

Kaum Mu’tazilah –sebagai aliran rasional yang berpendapat akan mempunyai daya besar dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak dan perbuatannya-berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak-semutlak-mutlaknya. Bagi Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan telah dibatasi oleh beberapa hal yaitu :
1.      Kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat.
2.      Keadilan tuhan.
3.      Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
4.      Natur atau hukum alam.

Beberapa I`tiqad kaum Mu`tazilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah yaitu :
1.      Mereka berpendapat bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh akal dan bukan oleh syari`at. Dengan demikian dalam pandangan mereka akal menduduki kedudukan yang lebih tinggi dari pada syari`at.
2.      Mereka mengatakan bahwa tidak memiliki sifat. Apa yang tercantum dalam Al- Quran dan sunnah berupa asma dan sifat Allah merupakan sekedar nama yang tidak memiliki pengaruh sedikitpun dari nama tersebut. Dengan demikian mereka menafikan adanya sifat-sifat tinggi dan mulia bagi Allah.
3.      Mereka berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ahlus Sunnah berpendapat dan bersepakat bahwa Al- Quran bukan makhluk.
4.      Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar dari golongan mukmin, maka dia tidak disebut lagi sebagai seorang mukmin, namun juga tidak disebut kafir. Ahlus sunnah berpendapat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar , ia tetap sebagai mukmin yang berbuat kefasikan.
5.      Mereka berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat nanti pada hari kiamat (ketika dalam surga), karena hal itu akan menimbulkan pendapat, seolah-olah Allah berada dalam surga atau Allah dapat dilihat. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa orang-orang beriman yang telah masuk surga akan dapat melihat Allah sesuai dengan (Q.S. Al- Qiyamah : 22-23).
6.      Mereka tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad mi`raj dengan ruh dan jasadnya.
7.      Mereka berpendapat bahwa manusialah yang menjadikan pekerjaannya, dan Allah sama sekali tidak ikut campur dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
8.      Mereka tidak meyakini adanya “Arsy dan Kursi”. Mereka mengatakan bahwa jika keduanya benar-benar sebesar itu.Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, lalu diletakkan dimana kedua benda tersebut.Mereka mengatakan kedua benda tersebut hanyalah sekedar menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah.
9.      Mereka juga tidak mengakui adanya malaikat “Kiraman Katibin” atau malaikat Rajib dan Atid. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah telah meliputi segalanya, sehingga tidak perlu lagi adanya pembantu dari kalangan malaikat.
10.  Mereka tidak meyakini adanya mizan, hisab, shirat, al- haudh dan syafa`at pada hari kiamat kelak.

Aliran pemikiran yang menegaskan bahwa berasio dengan logika adalah azas yang paling baik dalam melakukan sesuatu tindakan ataupun menyelesaikan masalah.
Dalam hubungannya dengan pemikiran Islam, rasiolisme merupakan aliran yang pertama muncul sebagai respon terhadap kitab ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan penggunaan akal. Aliran rasionalis ini sering dihubungkan dengan Mu`tazilah yang dipelopori oleh Washil Ibn Atha` Al- Gazzal (689 M-749 M) murid kepada Hasan Al- Basri (642 H-728 H). Hasan Al- Basri adalah seorang tabi’in dengan sering kali diberi julukan sebagai imam pada zamannya. Apabila dihubungkan dengan istilah salaf dan berpegang dengan sunah, Hasan Al- Basri adalah salah seorang dari kalangan mereka.







D.    Gagasan Rasionalisme/ Mu`tazilah.
Memberi keutamaan kepada akal dalam memahami ajaran Quran serta hadis. Kebebasan akal terikat pada ajaran-ajaran mutlak Quran dan Sunah, yaitu ajaran yang termasuk dalam istilah Qat`iy al-wurud dan Qat`iy al-dalalah.
Maksud Quran dan hadis difahami sesuai dengan pendapat akal.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.
                                                           

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Semua aliran dalam teologi Islam, baik Asy`ariah, Maturidiah, apalagi Mu`tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam.Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu`tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy`ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Semua aliran itu berpegang kepada wahyu, dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat Al-Quran dan hadist. Perbedaan dalam interpretasi inilah yang kemudian menimbulkan aliran-aliran yang berlainan dalam kalangan umat Islam seperti yang tersebut diatas. Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia.Pandangan demikian timbul karena kaum mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka. Kaum Mu`tazilah tidak disukai karena mereka memakai kekerasan dan menyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke 9 Masehi. Kesalahpahaman terhadap kaum Mu`tazilah timbul karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi di dalam perguruan-perguruan Islam. Aliran Mu`tazilah lebih dikenal sebagai aliran rasionalisme.
Pemahaman Mu`tazilah yaitu Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu’tazilah”