Selasa, 08 Januari 2013

al-kindi

FILSAFAT ISLAM



PEMIKIRAN AL-KINDI
A.                Pendahuluan
Filsafat tidak dapat dilepaskan dari Yunani, karena filsafat lahir dan berkembang di Yunani. Filsafat masuk kedalam dunia islam melalui kota Judishapor yang letaknya tidak jauh dari Baghdad, selain itu juga Siria, Mesopotamia, dan Persia. Dari kota-kota itulah muncul para filosof-filosof muslim serta pemikiran-pemikiranya. Banyak ilmu pengetahuan Yunani yang dipelajari oleh ulama islam termasuk tentang filsafat.
Pemikiran filsafat islam telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Selain itu pandangan filosof Yunani sebagian dijadikan acuan sebagai pandangan pemikiran filosof muslim seperti Aristoteles, Plato dan  Socrates. Pda saat itulah muncul filosof muslim seperti halnya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibunu Bajjah dan lain-lain.
Al-Kindi termasuk salah satu Filosof muslim yang mengkaji tentang filsafat ketuhanan, filsafat kosmologi atau alam, dan filsafat jiwa. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai biografi, pandangan serta pemikiran-pemikiran Al-Kindi.



B.     Biografi Al-Kindi
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash-Shabbah bin Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M). Ayahnya adalah seorang gubernur di kuffah pada masa pemerintahan Al-mahdi dan Harun Ar-Rasyid dari bani Abbas. Ayahnya kemudian meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir
Al-kindi pada masa kecilnya menempuh pendidikanyadi kota Bashrah. Dia menguasai beberapa ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu kedokteran, filsafat, mantiq, geometri, astronomi dan lain-lain.[1]
Tidak ada  kepastian tentang tanggal kelahiran, kematian, dan siapa saja  yang pernah menjadi gurunya. L.Massignon mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sekitar 246 H (860 M). C.Nallino menduga tahun 260 H (873 M), dan T.J. dc Boer menyebut 257 H (870 M). Adapun Musthofa Abd al-Raziq (Mantan Rektor Al-Azhar) mengatakan tahun 252 H (866 M), dan Yaqut al-Himawi menyebutkan setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.[2]

C.    Pandangan Al-Kindi
Al-Kindi berusaha untuk memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar karena pada hakikatnya agama ilmu tentang kabenaran dan filsafat juga disebut tentang ilmu kebenara. Oleh karena itu maka tidak ada perbedaan antara keduanya yaitu sama-sama mengajarkan tentang kebenaran. Dan juga Alquran yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat islam diwajibkan mempelajari teologi. Teologi adalah cabang termulia dari filsafat dan filsafat membahas tentang kebenaran atau hakikat dan hakikat ynag pertama yaitu Tuhan.
Ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang hakikat, kesanggupan manusia ilmu ketuhanan, ilmu keesaan, ilmu keutamaan, dan semua ilmu yang berguna dan bagaimana cara untuk memperolehnya serta menjauhi segala perkara yang merugikan atau tidak baik.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu yang mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal: Yang Benar Perama, bagi Al-Kindi ialah Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, dan oleh karena itu ia dapat dikelompokkan menjadi orang yang “kafir”. Golongan mu’tazilah nampak jelas dalam pemikiran-pemikiranya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan mulia karena kebenaran.
Sesuai dengan pendiriannya, bahwa filsafat harus dimiliki maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikannya sebaik-baiknya.

D.    Hasil pemikiran Al-Kindi
1.      Filsafat ketuhanan (metafisika)
a.       Hakikat Tuhan
Menurut Al kindi bahwa Tuhan adalah wujud yang sempurna, dan Tuhan tidak memiliki hakikat karena hakikat yang sesungguhnya itu adalah Tuhan.
Tuhan adalah maha esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada yang menyamainya. Tuhan tidak dilahirkan juga tidak melahirkan. Tuhan menyempurnakan bukan disempurnakan.[3] Tuhan dalam pemikiran Al-kindi tidak memilki hakikat ainiah, karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada didalam alam karena tuhanlah sang pemilik hakikat itu sendiri.

b.      Bukti wujud Tuhan
Dalam bukti wujud Tuhan Al-Kindi berpijak pada adanya pergerakan, keanekaan dan keteraturan alam. Pemikiran Al-Kindi dalam hal ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles tentang penggerak pertama dan penggerak yang tidak bergerak. Dan dalam segi agama pemikiran ini sejalan denganilmu kalam. Apabila ada yang bergerak pasti ada yang menggerakkan. Dan alam itu bergerak dan berubah-ubah dan yang berubah-ubah yaitu baru maka itu semua ada yang menggerakkan yaitu Tuhan.[4]

c.       Sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat tuhan ramai dibicarakan pada masa Al-Kindi, dan dalam ini ia mengikuti pendirian golongan mu’tazilah. Diantara sifat-sifat Tuhan ialah keesaan, suatu sifat yang has baginya. Tuhan adalah sebab pertamanya(first cause), dimana wujudnya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan, menciptakan sesuatu dari tiada. Ia adalah zat yang menyempurnakan, bukan disempurnakan.[5]





2.      Epistimologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga pengetahuan manusia yaitu :
a.       Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwiroh), diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafidzah (recollection).

b.      Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial.

c.       Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia.

3.      Filsafat Jiwa
Jiwa merupakan intisari dari manusia dan keutamaan bagi manusia yang terpenting adalah budi pekerti yang baik atau etika yang baik. Keutamaan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, asas dalam jiwa tetapi bukan asas yang negatif yaitu pengetahuan dan perbuatan. Bagian ini juga terbagi menjadi tiga yaitu kebijaksanaan, keberanian dan kesucian. Kedua, keutamaan-keutamaan yang tidak terdapat dalam jiwa tetapi merupakan hasil dari tiga macam keutamaan tersebut. Ketiga, Hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan yang tercermin dalam keadilan.[6] Roh adalah urusan Tuhan bukan urusan manusia. Menurut Al-Kindi roh tidak tersusun secara sederhana tetapi memiliki arti penting, sempurna dan mulia. Menurut Al-kindi bahwa antara roh dan badan itu berbeda. Jika badan memiliki hawa nafsu maka rohlah yang menentang hawa nafsu itu sendiri. Kemudian melalui rohlah manusia mendapatkan suatu pengetahuan.[7]
Didalam bukunya Al-kindi yang berjudul “perihal tidur dan mimpi” yang menyebutkan bahwa antara ruh tidak pernah tidur yang tidur adalah badan. Ketika badan kita tidur maka ruh akan terpisah dari badan kemudian ruh bisa melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur.
Menurut Al-Kindi jiwa memiliki Al kindi yaitu jiwa daya bernafsu,daya pemarah dan daya berfikir. Daya berfikir ini disebut dengan akal kemudian dibagi menjadi 3macam akal yaitu: akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Daya bernafsu yaitu sama dengan keinginan.
Setelah terpisah dari tubuh saat kematian sejenak jiwa akan melayang-layang disekitar falak. Kemudian melesat ke alam yang lebih tinggi (Kawruhan). Namun tidak semua jiwa akan masuk pada alam tersebut. Dengan sikap seberti kebanyakan filosuf islam lainnya Al-Kindi mengembangkan doktrin etis yang menempatkan kebijaksanaan sebagai kebijaksanaan atau kesempurnaan puncak bagi rasio, keberanian sebagai kesempurnaan puncak bagi amarah dan pengendalian diri sebagai kesempurnaan puncak bagi syahwat.[8]





4.      Filsafat Kosmologi
Mengenai kosmologi, Al-Kindi berpendapat bahwa Allah tidak hanya menjadikan alam tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya dan menjadikan sebagiannya menjadi sebab yang lain. Didalam alam ini terdapat gerak, yaitu gerak menjadikan dan gerak merusak.
Al-Kindi juga berpendapat bahwa alam terdiri dua bagian yaitu : alam yang terletak dibawah falak bulan (air, api, udara dan tanah), dan alam yang merentang tinggi dari falak bulan sampai keujung alam, dan yang kedua ini bersifat abadi.
Adapun bumi ini yang terletak dibawah falak bulan, merupakan pusat alam. Sedangkan falak-falak atau benda-benda langit merupakan makhluk hidup, yang memiliki indera penglihatan dan pendengaran sebagian yang diperlukan untuk dapat berfikir dan membedakan. [9]



E.     Penutup
            Al-Kindi adalah filsuf islam yang mula-mula secara sadar berupa mempertemukan ajaran-ajaran islam dengan filsuf Yunani. Sebagai seorang filsuf Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula oleh keterbatasan akal untuk pengetahuan tentang Tuhan. Oleh krena itu, menurut Al-Kindi diperlukan adanya nabi yang mengajarkan hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama islam yang di yakininya.
Karangan-karangan Al-Kindi umumnya berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan Al-Farabi. Namun sebagai filsuf perintis yang menempuh jalan bukan seperti pemikir sebelumnya, maka nama Al-Kindi memperoleh cetak biru dan mendapat tempat yang istimewa dikalangan filosuf sezamannya dan sesudahnya. Tentu saja ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijakan akan senantiasa merujuk kepadanya.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Atang Hakim dan Beni Ahmad Saebeni. 2008. Filsafat Umum. Bandung:
            Pustaka Setia.
Mustofa. H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1999. Falsafat dan mistisisme dalam islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Fakhry, Majid. 1997. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan Media Utama.


[1] H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), hlm.99-100
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),hlm.16
[3] H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), hlm.109
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),hlm.20
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni akhmad saebeni, filsafat umum, (Bandung: Pustaka Setia,2008) hlm.447
[6] H.A.Mustofa, Op.cit, hlm 104-106
[7] Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1999), hlm.10
[8] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 1997), hlm. 32-33
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),hlm. 21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kalian yaa..