ILMU TAUHID
MU'TAZILAH
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Harun Nasution, persoalan yang pertama kali timbul dalam islam
adalah persoalan dalam bidang politik bukannya persoalan dalam bidang teologi. Tapi
persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi sehingga
muncul berbagai aliran teologi. Jadi, menurut Harun Nasution penyebab timbulnya
berbagai macam aliran teologi dalam islam adalah politik. Namun apabila dikaji
lebih seksama, munculnya aliran-aliran teologi dalam islam tidak mesti
disebabkan oleh adanya faktor politik. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri sangat
memungkinkan untuk memunculkan perbedaan pendapat ketika ditafsirkan oleh orang
yang memiliki latarbelakang sosial dan budaya yang berbeda yang pada akhirnya
dapat melahirkan berbagai aliran teologi. Dengan kata lain, tidak semua aliran
kalam di timbulkan oleh persoalan politis, namun ada beberapa aliran kalam yang
memang berawal dari persoalan teologis.
Oleh karena itu, Dalam tulisan ini akan sedikit diuraikan lahirnya salah
satu aliran kalam yaitu “Mu’tazilah”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mu'tazilah
a.
Secara Etimologi
Mu'tazilah atau
I'tizala adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan
dan keterputusan,
b.
Secara Terminologi Para Ulama
Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai
satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam
permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan
Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Dan kalau
kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya
hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi
jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya
yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan
terputus.
B.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya
Kaum Mu`tazilah
merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih
dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu
pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para Ulama
Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.
Tentang awal
munculnya sekte ini banyak diperselisihkan oleh para Ulama, namun sebutan
mu`tazilah itu lebih banyak ditujukan kepada dua tokoh kontroversial yang
bernama Washil Ibn Atha` dan Amr Bin
Ubaid. Keduanya adalah murid dari seorang Sayyidut tabi`in di wilayah
Basrah yang bernama Abu Hasan Al-Basri, kemunculan mu`tazilah ini bermula dari
lontaran ketidak setujuan dari Washil Ibn Atha` atas pendapat Hasan Basri yang
mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di
akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan
dimasukkah jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Ibn Atha` menyangkal
pendapat tersebut. Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang
fasik tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya
tidak dineraka dan tidak pula di surga.namun dia berada dalam satu posisi
antara iman dan kufur, Antara surga dan neraka (al-manzilah bain al-manzilatain).
Ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan
mereka, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan
diri kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka
pada saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari
pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
Peristiwa yang
paling menggemparkan dalam sejarah perjalanan Mu`tazilah ini adalah peristiwa
Al-Quran ialah makhluk. Sebuah peristiwa yang telah menelan ribuan korban dan
kaum muslimin, yaitu mereka yang tidak setuju pada pendapat bahwa Al-Quran
adalah makhluk. Mereka tetap bersikukuh pada pendapat mereka, bahwa Al-Quran
adalah kalamullah sebagaimana yang dipahami oleh para salaf, termasuk ulama
yang mendapatkan ujian berat dari peristiwa Al-Quran makhluk ini adalah Imam
Syafi`ie dan Imam Ahmad.
C.
Ajaran Mu’tazilah
Ajaran dasar yang dibawa oleh mu’tazilah adalah al-Ushul al-Khamsah, atau lima ajaran
dasar. Al-Ushul al-Khamsah diberi
urutan menurut pentingnya tiap-tiap dasar, yaitu sebagai berikut :
a.
Al-Tauhid
Menurut Mu’tazilah, tauhid berarti mengakui
keesaan Tuhan (sebagai lawan dari segala bentuk dualisme) menolak semua perumpamaan
antara Allah dan makhluk-Nya (sebagai lawan dari antropomorfisme) dan tidak
mengakui adanya sifat-sifat kekal yang melekat pada Tuhan.
Untuk menjaga keesaan Tuhan menurut pandangan
Mu’tazilah tersebut muncul pandangan-pandangan sebagai berikut :
1. Peniadaan sifat Tuhan
(Nafyu al-Shifah)
2. Menolak antropomorfisme
3. Menolak Tuhan dapat
dilihat
4. Menolak Qadimnya
Al-Quran
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran tidak
bersifat Qodim, tetapi baharu. Dengan demikian tidak bisa dikatakan Qodim,
karena Qodim itu tidak didahului dengan yang lain. Disamping itu, menurut kaum
Mu’tazilah, kepercayaan kepada keabadian Al-Quran bertentangan dengan konsepsi
keesaan Tuhan.
b.
Al-Adl
Qadli Abdul
Jabbar menjelaskan bahwa yang dimaksud adil bagi Tuhan, yaitu segala perbuatan
Tuhan pasti bagus, tidak mungkin Tuhan berbuat buruk dan tidak bisa mengingkari
yang wajib bagi-Nya.
Bagi
Mu’tazilah Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan. Dalam hal ini, Abu al-Huzail berpendapat bahwa Tuhan sebenarnya
berkuasa untuk berbuat dlalim tetapi mustahil Tuhan berbuat dlalim, karena akan
membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan.
Dari dasar
Al-Adl timbullah persoalan-persoalan yang merupakan konsekuensi logis dari
sifat adilnya Tuhan, yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia
2. Al-Shalah wa
al-Ashlah
3. Pengiriman Rasul
c.
Al-Wa’d wa al-Wa’id
Al-Wa’d adalah janji Allah untuk memberi pahala
kepada orang-orang yang taat. Sedang al-wa’id adalah ancaman, yaitu ancaman
Allah untuk menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat. Al-Wa’d wa Al-Wa’id ini
ada kaitanya dengan Al-Adl, dalam arti bahwa Tuhan tidak akan adil kalau tidak
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang
berbuat jahat. Dan tidaklah adil jika Tuhan tidak menepati janji-Nya.
d.
Al-Manzilah bain
al-manzilatain
Al manzilah bain al manzilatain yaitu teori ‘’posisi tengah’’ yang
dirumuskan oleh Washil bin Atho’ mengenai seorang muslim yang melakukan dosa
besar. Bagi Mu’tazilah, iman tidak hanya patuh atau setia pada dogma islam,
tapi termasuk ‘amal perbuatan’. Oleh karena itu seorang muslim yang melakukan
dosa besar tidak dapat disebut mukmin, juga tidak disebut kafir karena sebutan
kafir hanya layak untuk orang yang mempercayai ajaran yang bertentangan dengan
ajaran islam.
Menurut Qadhi Abdul Jabbar, orang muslim yang
melakukan dosa besar tidak bisa disebut mukmin, juga tidak bisa disebut kafir dan
bukan pula munafik, karena munafik adalah sebutan yang cocok untuk orang yang
menyembunyikan kekufuran dibalik penampilannya yang kelihatan islam. Sebutan
yang cocok untuk orang muslim yang melakukan dosa besar adalah fasiq.
Karena bukan mukmin dia tidak dapat masuk surga
dan karena bukan kafir, ia sebenarnya tidak mesti masuk neraka. Orang fasiq
seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tapi karena di akhirat
hanya ada surga dan neraka, maka pelaku dosa besar di tempatkan di neraka tapi
dengan siksaan yang lebih ringan dari siksaan yang diberikan kepada orang
kafir.
e.
Al-Amr bi Al-ma’ruf wa
al-Nahyu an al-Munkar
Al-Amr bi Al-ma’ruf wa al-Nahyu an al-Munkar adalah perintah berbuat baik dan
larangan berbuat jahat. Meskipun Al-Amr
bi Al-ma’ruf wa al-Nahyu an al-Munkar itu wajib, namun tidak boleh
dilakukan secara sembarangan. Qadli Abdul Jabbar mengemukakan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh orang yang akan melaksanakannya. Apabila tidak dipenuhi
persyaratan itu, maka ia gugur dari kewajiban melaksanakannya. Adapun
persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui perbuatan
yang diperintahkan itu benar-benar ma’ruf dan yang dilarang benar-benar munkar.
2. Mengetahui perbuatan
yang munkar telah dilakukan dan nyata.
3. Mengetahui bahwa
pelaksanaannya tidak mengakibatkan madlorot yang lebih besar.
4. Mengetahui atau
mempunyai dugaan kuat bahwa pelaksanaannya akan membawa pengaruh dan berhasil.
5. Mengetahui atau
mempunyai dugaan kuat bahwa pelaksanaannya tidak akan mengakibatkan kerusakan
harta dan jiwa.
Kaum
Mu’tazilah –sebagai aliran rasional yang berpendapat akan mempunyai daya besar
dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak dan perbuatannya-berpendapat
bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat
mutlak-semutlak-mutlaknya. Bagi Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan telah
dibatasi oleh beberapa hal yaitu :
1. Kebebasan manusia
dalam berkehendak dan berbuat.
2. Keadilan tuhan.
3. Kewajiban-kewajiban Tuhan
terhadap manusia.
4. Natur atau hukum
alam.
Beberapa I`tiqad
kaum Mu`tazilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah yaitu :
1.
Mereka berpendapat bahwa baik
buruknya sesuatu ditentukan oleh akal dan bukan oleh syari`at. Dengan demikian
dalam pandangan mereka akal menduduki kedudukan yang lebih tinggi dari pada
syari`at.
2.
Mereka mengatakan bahwa tidak
memiliki sifat. Apa yang tercantum dalam Al- Quran dan sunnah berupa asma dan
sifat Allah merupakan sekedar nama yang tidak memiliki pengaruh sedikitpun dari
nama tersebut. Dengan demikian mereka menafikan adanya sifat-sifat tinggi dan
mulia bagi Allah.
3.
Mereka berpendapat bahwa Al-Quran
adalah makhluk. Ahlus Sunnah berpendapat dan bersepakat bahwa Al- Quran bukan
makhluk.
4.
Mereka berpendapat bahwa pelaku
dosa besar dari golongan mukmin, maka dia tidak disebut lagi sebagai seorang
mukmin, namun juga tidak disebut kafir. Ahlus sunnah berpendapat bahwa seorang
mukmin yang berbuat dosa besar , ia tetap sebagai mukmin yang berbuat kefasikan.
5.
Mereka berpendapat bahwa Allah
tidak dapat dilihat nanti pada hari kiamat (ketika dalam surga), karena hal itu
akan menimbulkan pendapat, seolah-olah Allah berada dalam surga atau Allah
dapat dilihat. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa orang-orang beriman yang telah
masuk surga akan dapat melihat Allah sesuai dengan (Q.S. Al- Qiyamah : 22-23).
6.
Mereka tidak meyakini bahwa Nabi
Muhammad mi`raj dengan ruh dan jasadnya.
7.
Mereka berpendapat bahwa
manusialah yang menjadikan pekerjaannya, dan Allah sama sekali tidak ikut
campur dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
8.
Mereka tidak meyakini adanya “Arsy
dan Kursi”. Mereka mengatakan bahwa jika keduanya benar-benar sebesar
itu.Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, lalu diletakkan dimana kedua
benda tersebut.Mereka mengatakan kedua benda tersebut hanyalah sekedar
menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah.
9.
Mereka juga tidak mengakui adanya
malaikat “Kiraman Katibin” atau malaikat Rajib dan Atid. Mereka berpendapat
bahwa ilmu Allah telah meliputi segalanya, sehingga tidak perlu lagi adanya
pembantu dari kalangan malaikat.
10. Mereka tidak meyakini adanya mizan, hisab, shirat, al- haudh dan
syafa`at pada hari kiamat kelak.
Aliran pemikiran yang menegaskan bahwa berasio dengan
logika adalah azas yang paling baik dalam melakukan sesuatu tindakan ataupun
menyelesaikan masalah.
Dalam hubungannya dengan pemikiran Islam, rasiolisme
merupakan aliran yang pertama muncul sebagai respon terhadap kitab ayat-ayat
Al-Quran sehubungan dengan penggunaan akal. Aliran rasionalis ini sering
dihubungkan dengan Mu`tazilah yang dipelopori oleh Washil Ibn Atha` Al- Gazzal
(689 M-749 M) murid kepada Hasan Al- Basri (642 H-728 H). Hasan Al- Basri
adalah seorang tabi’in dengan sering kali diberi julukan sebagai imam pada
zamannya. Apabila dihubungkan dengan istilah salaf dan berpegang dengan sunah,
Hasan Al- Basri adalah salah seorang dari kalangan mereka.
D. Gagasan Rasionalisme/
Mu`tazilah.
Memberi keutamaan
kepada akal dalam memahami ajaran Quran serta hadis. Kebebasan akal terikat
pada ajaran-ajaran mutlak Quran dan Sunah, yaitu ajaran yang termasuk dalam
istilah Qat`iy al-wurud dan Qat`iy al-dalalah.
Maksud Quran dan
hadis difahami sesuai dengan pendapat akal.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Semua aliran dalam teologi
Islam, baik Asy`ariah, Maturidiah, apalagi Mu`tazilah sama-sama mempergunakan
akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan
umat Islam.Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan
dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu`tazilah berpendapat
bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy`ariah sebaliknya berpendapat bahwa
akal mempunyai daya yang lemah.
Semua aliran itu berpegang kepada wahyu, dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara
aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat
Al-Quran dan hadist. Perbedaan dalam interpretasi inilah yang kemudian
menimbulkan aliran-aliran yang berlainan dalam kalangan umat Islam seperti yang
tersebut diatas. Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik
dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum
Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah
dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian
tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia.Pandangan
demikian timbul karena kaum mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan
hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum
Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat
Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka. Kaum Mu`tazilah tidak
disukai karena mereka memakai kekerasan dan menyiarkan ajaran-ajaran mereka
dipermulaan abad ke 9 Masehi. Kesalahpahaman terhadap kaum Mu`tazilah timbul
karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi di dalam
perguruan-perguruan Islam. Aliran Mu`tazilah lebih dikenal sebagai aliran
rasionalisme.
Pemahaman Mu`tazilah yaitu Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya
Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut
Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid,
Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Al-
Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut
paham Mu’tazilah”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterima kasih untuk informasi yang amat berguna ..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus