Selasa, 08 Januari 2013

jarimah dan korupsi


JARIMAH PENCURIAN
A.    JARIMAH
Jarimah berasal dari kata ja, ra, ma yang sinonim katanya kasabawaqotho’a artinya berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Menurut istilah, Imam Al-Mawardi mengemukakan sebagai berikut :
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang kemudian diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Dalam artian bahwa setiap tindakan yang dilakukan merupakan tindakan yang menyimpang dari aturan-aturan sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain dan mempunyai sanksi pidana.

B.     PENCURIAN (AL-SYARIQAH)
1.      Pengertian
Sariqah atau pencurian adalah suatu cara yang tidak sah dalam mengambil harta orang lain. Tindakan pencurian itu dianggap lengkap oleh para fuqaha apabila terdapat unsur-unsur berikut :
a)      Harta tersebut diambil secara sembunyi-sembunyi,
b)      Ia diambil dengan maksud jahat,
c)      Barang yang dicuri itu benar-benar milik sah dari orang yang dicuri,
d)     Barang yang dicuri itu telah berada dalam penguasaan si pencuri.

2.      Sanksi / Hukuman Pencurian
Mencuri adalah dosa besar dan orang yang yang mencuri wajib dihukum, yaitu:
a. Mencuri yang pertama kali, maka dipotong tangan kanannya
b. Mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya.
c. Mencuri yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya.
d. Mencuri yang ke empat kalinya, dipotong kaki kanannya.
e. Kalau masih mencuri, maka ia dipenjara sampai tobat.
3.      Pencurian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 362 : Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-, (K.U.H.P. 35, 364, 366, 486).

C.    KORUPSI
1.      Pengertian
Kata korupsi sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang sekarang ini berasal dari bahasa Inggris corruption. Sebetulnya kata corruption tersebut berasal dari kata dalam bahasa Latin “corruptus” yang berarti “merusak habis-habisan”. Kata ‘corruptus’ itu sendiri berasal dari kata dasar corrumpere,  yang tersusun dari kata com (yang berarti ‘menyeluruh’) dan rumpere yang berarti merusak secara total kepercayaan khalayak kepada si pelaku yang tak jujur itu.
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-bathil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur’an, tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrup), maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap. Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya paling mirip substansinya dengan korupsi ialah ghulul yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang dan risywah atau yang biasa dikenal dengan istilah suap.
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang  juga amat dikutuk Allah swt.

2.      Hukuman Bagi Koruptor
Dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat kejahatannya. Mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Mengapa bervariasi? Karena tidak adanya nash qath’i yang berkaitan dengan tindak kejahatan yang satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal ini bukanlah merupakan paket jadi dari Allah swt. yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi ta’zir, di mana seorang hakim (imam/pemimpin) diberi otoritas penuh untuk memilih—tentunya sesuai dengan ketentuan syariat—bentuk sanksi tertentu yang efektif dan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, di mana kejahatan tersebut dilakukan.
Apabila para fuqaha dalam hukum pidana Islam konvensional (fiqh al-jinayat al-fiqh al-jinai) memasukkan ghulul dalam kategori tindak pidana (jarimah) ta’zir yang besar-kecilnya hukuman (‘uqubah) diserahkan kepada pemerintah dan hakim, hal itu dapat dipahami, mengingat kejahatan ghulul masih dalam skala kecil yang belum menjadi ancaman berarti. Hanya saja perlu digaris bawahi bahwa hukuman ta’zir kendatipun pada asalnya bertujuan untuk memberi pelajaran (lil al-ta’dib) bentuknya tidak harus selalu berwujud hukuman ringan. Seperti yang ditulis oleh Abd al-Qadir Awdah dalam Al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, banyak fuqaha yang membolehkan pidana ta’zir dalam bentuk hukuman mati jika kepentingan umun menghendakinya (idza iqtadlat al-mashlahah al-’ammah taqrir ‘uqubah al-qatl). Dengan memerhatikan kepentingan umum yang terancam dengan sangat serius oleh kejahatan korupsi saat ini, maka dijatuhkannya hukuman ta’zir yang paling keras (hukuman mati) atas para koruptor kelas kakap dapat dibenarkan oleh Islam.


3.      Kasus Korupsi Wisma Atlet
JAKARTA (Suara Karya): Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Melchias Markus Mekeng mengungkapkan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam kasus suap Wisma Atlet dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Tipikor, kemarin.
Menurut Mekeng, dirinya ditugaskan dan dilantik sebagai Ketua Banggar sejak 19 Juli 2010, sementara anggaran untuk pembangunan wisma atlet dibahas dalam APBN Perubahan Tahun 2010.
"Jadi saya belum menjadi bagian dari Banggar DPR RI, baik sebagai anggota, maupun Ketua Banggar. Tidak benar kalau Nazaruddin bilang biangnya atau Ketua Besar itu adalah saya," kata Mekeng kepada wartawan, kemarin.
Dia melanjutkan, sesuai dengan siklus pembahasan APBN maka selaku Ketua Badan Anggaran DPR RI dirinya mulai bertugas sebagai Ketua Badan Anggaran DPR RI sejak Juli 2010 dengan memulai Agenda Pembahasan APBN Tahun Anggaran 2011 dan seterusnya hingga saat ini.
Dia menambahkan, bahwa untuk memperjelas masalah suap wisma atlet, dirinyalah yang meminta Nazaruddin untuk menyebutkan nama-nama dari oknum yang terlibat. "Harus dijelaskan secara jelas dan jangan setengah-setengah, Ketua Banggar siapa yang terlibat, jadi tidak menimbulkan persepsi yang mendua," tegasnya.
Dia juga mengungkapkan kronologi arus kebijakan keuangan SEA Games X DPR RI pada tahun anggaran 2010 yaitu sebagai berikut: Masalah pembahasan dan penetapan anggaran pembangunan wisma atlet di Palembang adalah keputusan resmi Komisi X DPR RI. "Kebijakan seputar keuangan SEA Games 2011 memang diputuskan di Komisi X," katanya.
Mekeng melanjutkan, rapat kerja antara Komisi X DPR RI dengan Menteri Pemuda dan Olahraga pada 20 Januari 2010 menyimpulkan bahwa Komisi X DPR RI dan pemerintah sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) SEA Games dan Para Games 2011.
Panja, tambah dia, diketuai oleh Ketua Komisi X Mahyuddin, anggotanya terdiri dari para Wakil Ketua Komisi X yaitu Rully Chairul Azwar, Heri Akhmadi dan Abdul Hakam Naja.
Selain itu, terkait program dan kegiatan dalam rangka persiapan dan penyelenggaraan kegiatan SEA Games dan Para Games 2011 yang kala itu tinggal 19 bulan lagi, Komisi X DPR RI mendesak Menpora agar memperhatikan kedisiplinan penganggaran.
Menurut dia, soal anggaran SEA Games sendiri setidaknya dimulai sejak Rapat Kerja antara Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Komisi X DPR RI pada Selasa, 13 April 2010.
Rapat kerja tersebut, menurut Mekeng, bersifat terbuka dengan agenda pembahasan perubahan APBN TA 2010 yang dipimpin oleh Ketua Komisi X DPR RI Mahyuddin serta didampingi pimpinan lain.Dalam rapat kerja tersebut, Menteri Pemuda dan Olahraga mengajukan usulan tambahan sebesar Rp 2,125 tiliun.
Mekeng melanjutkan, usulan tersebut di luar pagu yang sudah ada yaitu Rp 350 miliar. Perincian usulan tersebut untuk persiapan SEA Games dan Para Games 2011 Rp 1.000 miliar (Rp 1 triliun) dan lanjutan pembangunan tahap pertama pusat pendidikan dan pelatihan serta sekolah olahraga nasional Bukit Hambalang Bogor sebesar Rp 625 miliar dan untuk kegiatan kepemudaan serta olahraga lainnya Rp 500 miliar.
"Dengan pengajuan usulan tambahan sebesar Rp 2,125 triliun tersebut, Komisi X DPR RI memutuskan akan mempertimbangkan usulan tambahan pagu anggaran APBN-P TA 2010 dengan program prioritas utama pada persiapan SEA Games dan Para Games 2011 dalam rangka renovasi sarana dan prasarana pertandingan dan pembinaan atlet," jelasnya.
Mekeng memberikan penjelasan, usulan tersebut akan diajukan oleh Komisi X DPR RI kepada Badan Anggaran DPR RI. Dalam rapat kerja antara Komisi X DPR RI dengan Menpora pada Kamis, 29 April 2010, Komisi X DPR RI menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI hanya dapat memperjuangkan tambahan anggaran sebesar Rp 600 miliar dari usulan Rp 2,125 triliun.
Dengan demikian, total tambahan anggaran untuk Kemenpora pada APBNP-TA 2010 adalah sebesar Rp 350 miliar ditambah Rp 600 miliar sehingga totalnya menjadi Rp 950 miliar.

4.      Cara penanggulangan Korupsi di Indonesia
a.       Sangat selektif dalam memimilh pemimpin, yang trac recordnya belum pernah ada catatan indikasi dalam tipikor.
b.      Biasakan diri kita untuk tidak melakukan tindakan yang menuju ke korupsi, gratifikasi dan kolusi.
c.       Penegakan hukum yang konsisten dan tidak pandang bulu.
d.      Apabila ada aparat yang terindikasi ke tipikor langsung ditindak atau bahkan langsung dilakukan pemecatan,secara tidak terhormat.
e.       Selalu berdoa kepada Allah untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar mengayomi rakyatnya,yang bisa jadi panutan dan mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri sendiri.

5.      Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dalam setiap tindak pidana, tentunya selalu ada subjek yang akan dikenai pidana oleh Undang-Undang yang dibuat tersebut. Menurut Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dua subjek terhadap tindak pidana korupsi yaitu orang dan korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1)  UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK), yaitu:
“(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). “

6.      Akibat dari korupsi
a.       Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintahan. 
b.      Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat. 
c.       Menurunnya pendapatan Negara. 
d.      Hukum tidak lagi dihormati. 

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan korupsi akan menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan didalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kalian yaa..