Selasa, 08 Januari 2013

timbulnya kebutuhan agama atau Tuhan



PSIKOLOGI AGAMA

 
“TIMBULNYA KEBUTUHAN AKAN AGAMA ATAU TUHAN”
I. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala keinginan dan kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Namun di samping itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan irrasionaltas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kemudian kepercayaan manusia akan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang tergantung pada hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia jika hubungan baik manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka hilang pulalah kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari.
Kemudian menurut sebagian para ahli rasa ingin tahu dan rasa takut itu menjadi pendorong utama tumbuh suburnya rasa keagamaan dalam diri manusia.
Lantas benarkah hanya rasa takut dan ingin tahu tersebut yang menjadikan manusia membutuhkan agama dalam kehidupan mereka?. Dalam makalah yang sederhana ini akan diulas bagaimana agama bisa menjadi kebutuhan bagi manusia dan peran agama dalam kehidupan.



II. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata  “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman hidup yang kekal”. Agama Sanskerta, a = tidak; gama = kacau artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio dari religere (bahasa latin),yang artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi. Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu (yang supra natural) dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia (pendiri atau pengajar utama agama) untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.
a)      Agama ialah sikon manusia yang percaya adanya tuhan, dewa, Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
b)      Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya.
c)      Agama ialah percaya adanya tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum tuhan tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh tuhan sebagai pembawa agama. Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan tuhan kepada manusia untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
 Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang ditujukan kepada Ilahi.[1]
B.     Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Bahwa secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang Khaliknya.[2]
Ada yang berpendapat bahwa benih agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkan pemberian penghormatan kepada yang diyakini yang memiliki kekuatan menakutkan. Rasa takut memang salah satu pendorong utama tumbuh suburnya rasa keberagaman. Tetapi itu merupakan benih- benih yang ditolak oleh sebagian pakar lain. Seperti yang dikatakan oleh Qurasy Syihab bahwa ada hal lain yang membuat manusia merasa harus beragama.  Freud ahli jiwa berpendapat bahwa benih agama dari kompleks oedipus. Mula-mula seorang anak merasakan dorongan seksual terhadap ibunya kemudian membunuh ayahnya sendiri. Namun pembunuhan ini menghasilkan penyesalan diri dalam jiwa sang anak sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang ayah. Di sinilah bermula rasa agama dalam jiwa manusia.[3] Jadi agama muncul dari rasa penyesalan seseorang. Namun bukan berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan bahwa manusia membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap agama dapat disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan perlunya manusia terhadap agama sebagai kebutuhan. Ada empat faktor yang menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:[4]
1.      Faktor Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kedua unsur tersebut harus mendapat perhatian khusus yang seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah makan-minum, bekerja istirahat yang seimbang, berolahraga, dan segala aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan pemenuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan segala aktivitas rohani yang seimbang.
2.      Faktor Status Manusia
Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Jika dibanding dengan makhluk lain, Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan. Yaitu kesempurnaan akal dan pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dalam segi rohaniah manusia memiliki aspek rohaniah yang kompleks. Manusia adalah satu-satunya yang mempunyai akal dan manusia pulalah yang mempunyai kata hati. Sehingga dengan kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan  yang paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia mengakui adanya Allah. Dengan hati nuraninya manusia menyadari bahwa dirinya tidak terlepas dari pengawasan dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia belajar mengenal Tuhan dan agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan sesamanya, dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
3.      Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Dilihat dari struktur kepribadian manusia maka di situ pulalah dapat dilihat kebutuhan manusia terhadap agama. Dalam teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi struktur kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
a)      Aspek biologis. Aspek ini merupakan sistem yang orisinal dalam kepribadian manusia yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang subjektif yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
b)      Aspek psikis, yang timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
c)      Aspek sosiologis yang yang mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat.
Selain faktor yang dimiliki manusia dalam memerlukan agama ada juga alasan mengapa manusia perlu beragama. Dalam buku  yang ditulis Yatimin juga Abudin Nata bahwa ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Yaitu:
1.      Fitrah Manusia
Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan dijelaskan dalam ajaran islam bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Dan di masa akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang memerlukan dan memopulerkannya. Fitrah keagamaan yang berada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan itu memang amat sejalan dengan fitrah manusia itu.[5] Al-Quran telah menjelaskan agama sebagai fitrah manusia, dan Allah telah menetapkan perintah, ”(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”Dan sejak dahulu gagasan ketakwaan tidak dapat disingkirkan dari hati manusia. Kemudian dari sudut pandang psikologi hubungan antara manusia dan agama membuktikan perasaan religius adalah salah satu naluri manusia yang mendasar. Seorang filsuf pun mengatakan bahwa perasaan religius adalah salah satu unsur utama dari alam jiwa manusia.
2.      Adanya An Nafs
Faktor lain yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata an-Nafs. Menurut Quraisy Syihab, bahwa dalam pandangan AlQuran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Quran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Dalam surat Al Syams disebutkan:
demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan”(QS:Al-Syams:7-8)
Untuk menjaga kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada tuhan dengan bimbingan agama. Di sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.[6]
3.      Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Tantangan internal dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Sedangkan tantangan eksternal dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya  yang dilakukan oleh manusia yang secara sengaja memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.[7]
C.     Agama dan Pengaruhnya dalam Kehidupan
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati (Supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan yang bermasyarakat. Dalam buku Psikologi Agama Dr. H. Jalaludin menyebutkan bahwa agama dapat mempengaruhi kehidupan, baik kehidupan Individu,dan kehidupan masyarakat. [8]
1.       Fungsi Agama dalam kehidupan Individu
(a)      Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
(b)    Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Prustasi
(c)      Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
(d)     Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
(e)       Agama sebagai pembentuk kata hati (conscienci)
2.      Fungsi Agama dalam kehidupan bermasyarakat
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kepustakaan ilmu – ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu: masyarakat homogen, masyarakat majemuk, dan masyarakat heterogen. Terlepas dari penggolongan masyarakat tersebut, pada dasarnya masyarakat terbentuk dari adanya solidaritas dan konsensus. Solidaritas menjadi dasar terbentuknya organisasi dalam masyarakat, sedangkan konsensus merupakan persetujuan bersama terhadap nilai – nilai dan norma – norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok (Thomas E O’dea, 1985: 107).
Nilai – nilai dan norma – norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan masyarakat ialah agama. Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:

a.     Berfungsi Edukatif
b.    Berfungsi Penyelamat
c.     Berfungsi sebagai Pendamaian
d.    Berfungsi sebagai Social control
e.      Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
f.      Berungsi Transformatif
g.    Berfungsi Kreatif
h.    Berfungsi Sublimatif



III. SIMPULAN
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Quran, menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.















DAFTAR PUSTAKA
Yatimin, Drs. M. M.A. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.
Syihab, Quraisy. 2007. Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung. PT Mizan Pustaka.
Nata, Abudin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta. CV. Rajawali Press.
Jalaludin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: RajaGravindo Persada

http://eunchasiluets.wordpress.com/2012/05/08/agama-dan-pengaruhnya-dalam-kehidupan-individu-dan-masyarakat/03/10/12


[1] http://eunchasiluets.wordpress.com/2012/05/08/agama-dan-pengaruhnya-dalam-kehidupan-individu-dan-masyarakat/03/10/12
[2] Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), Hlm.  37
[3] Quraisy Syihab, Membumikan Alquran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm.210
[4] Drs. M. Yatimin, M. A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm.39-42
[5] Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: CV. Rajawali Press), hlm 16
[6] Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 44
[7] Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: CV. Rajawali Press), hlm 24-25

[8] Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2010), hlm 317-327

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kalian yaa..